"Lir ilir. Tandure Wus Sumilir. Tak Ijo Royo - Royo. Tak Sengguh Temanten Anyar" Menggeliatlah dari matimu, tutur Sunan.
Siumanlah dari pingsan berpuluh-puluh tahun. Bangkitlah dari nyenyak tidur panjangmu. Sungguh
negeri ini adalah penggalan sorga.
Sorga seolah pernah bocor dan mencipratkan kekayaan dan keindahannya. Dan cipratan keindahannya itu bernama Indonesia Raya Kau bisa tanam benih kesejahteraan apa saja di
atas kesuburan tanahnya yang tak terkirakan. Tak mungkin kau temukan makhluk Tuhanmu kelaparan di tengah hijau bumi kepulauan yang bergandeng-
gandeng mesra ini. Bisa engkau selenggarakan dan rayakan pengantin-pengantin pembangunan lebih dari yang bisa dicapai oleh negeri-nergeri lain yang manapun. Tapi kita memang telah tak mensyukuri rahmat sepenggal sorga ini. Kita telah memboroskan anugerah Tuhan ini melalui cocok tanam ketidak-adilan dan panen-panen kerakusan
"Cah angon, cah angon penekno blimbing kuwi" Sunan Ampel tidak
menuliskan: "Ulama, Ulama", "Pak Jendral, Pak Jendral", "Intelektual, Intelektual" atau apapun lainnya, melainkan "Bocah Angon, Bocah Angon..." Beliau juga tidak menuturkan : "Penekno sawo kuwi", atau "Penekno pelem kuwi" atau buah apapun lainnya, melainkan "Penekno blimbing kuwi" Blimbing itu bergigir lima. Terserah tafsirmu apa gerangan yang dimaksud dengan lima Yang jelas harus ada yang memanjat pohon yang licin ini, agar blimbing bisa kita capai bersama-sama Dan yang memanjat harus "Cah Angon". Tentu saja ia boleh seorang doktor, boleh seorang seniman, boleh kiai, jendral, atau siapapun saja -- namun dimilikinya daya angon Kesanggupan untuk menggembalakan. Karakter untuk merangkul dan memesrai semua pihak. Determinasi yang menciptakan garis resultan kedamaian bersama. Pemancar kasih sayang yang dibutuhkan dan diterima oleh semua warna, semua golongan, semua kecenderungan Bocah Angon adalah seorang pemimpin nasional, bukan tokoh golongan atau pemuka suatu gerombolan
"Tandure wus sumilir. Tak ijo royo- royo. Tak sengguh temanten anyar." Menggeliatlah dari matimu,
tutur Sunan. Siumanlah dari
pingsan berpuluh-puluh tahun.
Bangkitlah dari nyenyak tidur panjangmu. Sungguh negeri ini adalah penggalan sorga. Sorga seolah pernah bocor dan mencipratkan kekayaan dan keindahannya. Dan cipratan keindahannya itu bernama Indonesia Raya .. Kau bisa tanam benih kesejahteraan apa saja di
atas kesuburan tanahnya yang tak terkirakan. Tak mungkin kau temukan makhluk Tuhanmu kelaparan di tengah hijau bumi kepulauan yang bergandeng-
gandeng mesra ini. Bisa engkau selenggarakan dan rayakan pengantin-pengantin pembangunan lebih dari yang bisa dicapai oleh negeri-nergeri lain yang manapun. Belum lagi kalau engkau nanti melihat bahwa engkau sesungguhnya bisa mendirikan IMF-mu sendiri yang engkau ambil di rahim bumi dan lautanmu. Belum lagi kalau engkau nanti menyaksikan apa yang sebenarnya diamanatkan oleh para Aulia pemelihara pulau Jawa, bahkan oleh leluhur- leluhurmu yang justru engkau kutuk-kutuk. Belum lagi kalau engkau nanti menyadari bahwa negerimu ini bukan saja mampu dengan gampang membebaskan dirinya dari krisis dan hutang- hutang, namun bahkan bisa menjadi negeri adikuasa -- seandainya SDM kita tidak berkarakter tikus-tikus... Abacadabra sungguh kita memang telah tak mensyukuri rahmat sepenggal sorga ini. Kita telah memboroskan anugerah Tuhan ini melalui cocok tanam ketidak-adilan dan panen-panen kerakusan.
"Cah angon, cah angon penekno blimbing kuwi." Sunan Ampel tidak menuliskan: "Ulama, Ulama", "Pak Jendral, Pak Jendral", "Intelektual, Intelektual" atau apapun lainnya, melainkan "Bocah Angon, Bocah Angon..." Beliau juga tidak menuturkan : "Penekno sawo kuwi", atau "Penekno pelem kuwi" atau buah apapun lainnya, melainkan "Penekno blimbing kuwi"
Blimbing itu bergigir lima. Terserah tafsirmu apa gerangan yang dimaksud dengan lima. Yang jelas
harus ada yang memanjat "pohon licin reformasi" ini -- yang sungguh-sungguh licin,
sehingga banyak tokoh-tokoh yang kita sangka sudah matang dan dewasa ternyata begitu gampang terpeleset dan kini kebingungan bak layang-layang putus..... Kita harus panjat, selicin apapun, agar blimbing itu bisa kita capai bersama-sama. Dan yang memanjat harus "Cah Angon". Tentu saja ia boleh seorang doktor, boleh seorang seniman, boleh kiai, jendral, atau siapapun saja namun dimilikinya daya angon. Kesanggupan untuk menggembalakan. Karakter untuk merangkul dan memesrai semua pihak. Determinasi yang menciptakan garis resultan kedamaian bersama. Pemancar kasih sayang yang dibutuhkan dan diterima oleh semua warna, semua golongan, semua kecenderungan. Bocah Angon adalah seorang pemimpin nasional, bukan tokoh golongan atau pemuka suatu gerombolan. Bocah Angon adalah waliyullah, negarawan sejati, 'orang tua yang jembar', bukan Lowo Ijo yang gemagah, bukan Simorodra yang mengaum-aum seenak napsunya sendiri.
"Lunyu-lunyu penekno. Kanggo mbasuh dodot iro." Sekali lagi, selicin apapun jalan reformasi ini, engkau harus jalani.... Selicin apapun pohon pohon tinggi reformasi ini sang Bocah Angon harus memanjatnya. Harus dipanjat
sampai selamat memperoleh
buahnya, bukan ditebang,
dirobohkan dan diperebutkan. Air saripati blimbing lima gigir itu diperlukan oleh bangsa ini untuk mencuci pakaian nasionalnya.
Konsep lima itulah sistem nilai yang menjadi wacana utama gerakan reformasi, kalau kita ingin menata semuanya ke arah yang jelas, kalau kita mau memahami segala tumpukan masalah ini dalam
komprehensi konteks-konteks: kemanusiaan, kebudayaan, politik, rohani, hukum, ekonomi, sampai apapun. Bukankah reformasi
selama ini kita selenggarakan sekedar dengan acuan 'nafsu
reformasi' itu sendiri, tanpa
bimbingan ilmu atau spiritualitas dan profesionalitas rasional
apapun?
"Dodot iro, dodot iro, kumitir
bedah ing pinggir. Dondomono,
jlumatono, kanggo sebo mengko sore." Pakaianlah yang membuat manusia bukan binatang. Pakaianlah yang membuat manusia bernama manusia. Pakaian adalah akhlak, pegangan nilai, landasan moral dan sistem nilai. Pakaian adalah rasa malu, harga diri, kepribadian, tanggung jawab. Pergilah ke pasar, lepaskan semua pakaianmu, maka engkau kehilangan segala-galanya sebagai manusia. Kehilangan harkat kemanusiaanmu, derajat sosialmu, eksistensi dan kariermu. Semakin lebar pakaian menutupi tubuh, semakin tinggi pemakainya memberi harga kepada kemanusiaan pribadinya. Semakin sempit dan sedikit pakaian yang dikenakan oleh manusia, semakin rendah ia memberi harga kepada kepribadian kemanusiaannya. Jika engkau berpakaian sehari- hari, engkau menjunjung harkat pribadi dan eksistensi sosialmu. Jika engkau mengenakan pakaian dinas, maka yang engkau sangga adalah harga diri dan rasa malu negara, pemerintah dan birokrasi. Jika engkau melanggar atau mengkhianati amanat, tugas dan fungsimu sebagai pejabat negara, maka sesungguhnya engkau sedang menelanjangi dirimu sendiri. Pakaian kebangsaan kita selama berpuluh-puluh tahun telah kita robek-robek sendiri dengan pisau pengkhianatan, kerakusan dan kekuasaan yang semena- mena -- yang akibatnya justru menimparakyat yang merupakanjuragan kita, yang menggaji kita dan membuat kita bisa menjadi pejabat. Bukankah negara danpejabat memerlukan rakyat untuk menjadi negara dan pejabat? Sementara rakyat bisa tetap hidup tanpa negara dan pejabat? Maka dondomono, jlumatono, jahitlah robekan-robekan itu, utuhkan kembali, tegakkan harkat yang selama ini ambruk.
"Mumpung jembar kalangane,
mumpung padhang rembulane. Yo
rurako surak Hiyooo!." Dari sudut
apapun, kecuali kelemahan
SDMnya, Indonesia Raya ini masih
merupakan ladang masa depan yang subur, masih memancar
cahaya rembulannya. Ilir-ilir itu
karya Sunan Ampel. Aku
pilih untuk dalam berbagai
pertemuan dengan sesama rakyat
kecil melantunkannya, sebab kami sepakat untuk tidak memilih karya
Sunan Isyu, Ayatollah Surat Kaleng,
Syekh Katanya, Wali Qila Wa Qala
atau Imam Selebaran Gelap... Tak
usah kita perhatikan apakah ia
berbahasa Jawa atau Jerman, memakai kata Arab atau Perancis.
Juga tak usah berpikiran apa-apa
mengenai primordalisme atau
sektarianisme seandainyapun
lantunan itu berbahasa planet
Mars atau jin Gunung Kawi. Yang penting kita rasuki saja
kemesraannya, kita resapi saja
keindahannya, kita nikmati saja
ketulusan hati yang dikandungnya,
serta kita kita renungi saja setiap
kemungkinan muatan nilainya. Lho, kita memang sudah bangun. Kita
sudah nglilir sesudah tidur terlalu
nyenyak selama 30 tahun atau
mungkin lebih lama dari itu. Kita
sudah bangkit. Beribu-ribu kaum
muda, berjuta-juta rakyat sudah bangkit, keluar rumah dan
memenuhi jalanan. Kita telah
membanjiri sejarah dengan
semangat menguak kemerdekaan
yang terlalu lama diidamkan. Bahwa
karena terlalu lama tidak merdeka lantas sekarang kita tidak begitu
mengerti bagaimana mengerjakan
kemerdekaan, sehingga tidak
paham beda antara demkrasi
dengan anarki -- itu soal lain.
Bahwa karena terlalu lama kita tidak boleh berpikir lantas
sekarang hasil pikiran kita keliru-
keliru, sehingga tidak sanggup
membedakan mana asap mana api,
mana emas mana loyang, mana
nasi dan mana tinja -- itu tidak terlalu penting. Bahwa karena
terlalu lama kita hidup dalam
ketidakmenentuan nilai lantas
sekarang semakin kabur
pandangan kita atas nilai- nilai
sehingga yang kita jadikan pedoman kebenaran adalah
kemauan, nafsu dan kepentingan
kita sendiri -- itu bisa diproses
belakangan. Bahwa terlalu lama
kita hidup dalam kegelapan
sehingga sekarang tidak mengerti bagaimana mengurusi cahaya
terang, sehingga kita junjung
pengkhianat dan kita buang
pahlawan, sehingga kita bela
kelicikan dan kita curigai ketulusan
-- itu lumrah... Yang penting sekarang kita sedang terus
berupaya menyempurnakan
kemerdekaan itu. Baik
kemerdekaan untuk memilih
kebenaran maupun kebebasan
untuk ngotot mempertahankan pendapat dan pembenaran. Baik
kemerdekaan untuk bersatu
maupun kebebasan untuk semakin
asyik memecah belah hubungan
kemanusiaan, hubungan sosial,
politik dan kebudayaan kita. Pokoknya, semakin banyak
golongan yang saling
bertentangan, kita merasa
semakin dewasa. Semakin banyak
partai politik, rasanya semakin
demokratis. Semakin banyak benturan dan perang saudara,
rasanya semakin modern kita. Kita
mendadak bangun dan mendadak
sudah berada di lapangan
sepakbola zaman baru, pas di
depan kotak penalti yang ribut. Kemudian tiba-tiba bola masuk ke
dalam gawang, dan kita bersorak-
sorak riang gembira, karena kita
merasa kaki kitalah yang bikin gol
itu. Namun itu tidak penting. Sebab
yang utama dari ili-ilir kita sekarang adalah tidak jelasnya
mana gawang mana bola, siapa
kiper siapa gelandang, mana wasit
mana penonton. Kita berjingkrak-
jingkrak kegirangan padahal bola
sedang masuk ke gawang kita sendiri. Kita bersuit-suit dan
hampir mabuk padahal yang dijegal
dari belakang itu adalah striker
kita sendiri. Kita marah-marah
kepada kiper yang dengan sigap
menangkap bola pengancam gawangnya. Pandangan mata kita
sedemikian kaburnya, sehingga
yang kita tatap di lapangan adalah
prasangka-prasangka kita sendiri.
Kemudian dengan mantap
prasangka dan kecurigaan itulah yang kita jadikan dalil untuk
menilai segala yang terjadi di
lapangan.
"Ilir-ilir." Kita sudang nglilir. Kita
sudah bangun, sudah bangkit,
bahkan kaki kita sudah berlari ke
sana kemari, namun akal pikiran
kita belum, hatinurani kita belum.
Kita masih merupakan anak-anak dari orde yang kita kutuk di mulut,
namun kita biarkan ajaran-
ajarannya terus hidup subur di
dalam aliran darah dan jiwa kita.
Kita mengutuk perampok dengan
cara mengincarnya untuk kita rampok balik. Kita mencerca maling
dengan penuh kedengkian kenapa
bukan kita yang maling. Kita
mencaci penguasa lalim dengan
berjuang keras untuk bisa
menggantikannya. Kita membenci para pembuat dosa besar dengan
cara setan, yakni melarangnya
untuk insaf dan bertobat. Kita
memperjuangkan gerakan anti
penggusuran dengan cara
menggusur. Kita menolak pemusnahan dengan merancangan
pemusnahan. Kita menghujat para
penindas dengan riang gembira
sebagaimana Iblis, yakni kita
halangi usahanya untuk
memperbaiki diri. Siapakah selain setan, iblis dan dajjal, yang
menolak husnul khotimah manusia,
yang memblokade pintu sorga,
yang menyorong mereka
mendekat ke pintu neraka?
Sesudah ditindas, kita menyiapkan diri untuk menindas. Sesudah
diperbudak, kita siaga untuk ganti
memperbudak. Sesudah
dihancurkan, kita susun barisan
untuk menghancurkan. Yang kita
bangkitkan bukan pembaruan kebersamaan, melainkan asyiknya
perpecahan. Yang kita bangun
bukan nikmatnya kemesraan, tapi
menggelaknya kecurigaan. Yang
kita rintis bukan cinta dan
ketulusan, melainkan prasangka dan fitnah. Yang kita perbaharui
bukan penyembuhan luka,
melainkan rancangan-rancangan
panjang untuk menyelenggarakan
perang saudara. Yang kita
kembang suburkan adalah kebiasaan memakan bangkai
saudara-saudara kita sendiri.
Saudara-saudara kita sendiri kita
pentaskan di dalam bayangan
kecurigaan kita. Saudara-saudara
kita sendiri kita beri peran fiktif di dalam assosiasi prasangka kita. Di
dalam pementasan fiktif di dalam
kepala kita itu, saudara- saudara
kita sendiri kita hardik, kita injak-
injak, kita pukuli, kita bunuh dan
akhirnya kita makan beramai- ramai. Padahal yang kita peroleh
dengan memakan bangkai itu
bukan keuntungan, melainkan
kesengsaraan batin dan tabungan
dosa yang sama sekali tidak
produktif. Yang kita dapatkan dari memakan bangkai itu bukan
sukses, melainkan penderitaan
yang terus menerus di kedalaman
hati kecil kita. Kita tidak
memperluas cakrawala dengan
menabur cinta, melain mempersempit dunia kita sendiri
dengan lubang-lubang kedengkian
dan iri hati. Kita adalah bumi yang
menutupi cahaya matahari yang
semestinya menimpa rembulan
untuk kemudian dipantulkannya kepada bumi. Kitalah penghalang
cahaya rembulan yang
didapatkannya dari matahari,
sehingga bumi kita sendiri menjadi
gelap gulita. Cahaya Tuhan adalah
rahmat nilai dan barakah rejekinya. Rembulan adalah Rasul,
Nabi, para Wali, Ulama, pemimin-
pemimpin kemanusiaan,
pemerintah, lembaga-lembaga
sosial, pers, tata nilai
kemasyarakatan dan kenegaraan, atau apapun, yang
mentransformasikan cahaya
rahmat Tuhan itu agar menjadi
manfaat bagi kehidupan seluruh
manusia. Tapi cahaya itu kita
tutupi sendiri. Tapi informasi itu kita sampaikan secara
disinformatif. Tapi cahaya terang
itu kita pandang tidak layak pasar
sehingga yang kita kejar-kejar
adalah kegelapan, kerusuhan,
pembunuhan, kebohongan, pertengkaran. Tapi cahaya Tuhan
itu kita halangi sendiri. Suara Rasul
kita curigai, sabda Nabi kita
singkirkan, ayat-ayat kita
remehkan, firman-firman kita anak
tirikan -- seakan-akan kita sanggup menumbuhkan bulu alis
kita sampai sepuluh sentimeter.
Kita bikin landasan falsafah negara
untuk kita buang dalam praktek,
sehingga gerhanalah rembulan dan
gelaplah kehidupan. Kita bikin aturan main nasional untuk kita
khianati sendiri, sehingga
gerhanalah rembulan dan gelaplan
kehidupan. Kita bikin sistem,
tatanan, batasan-batasan, untuk
kita langgar sendiri, sehingga gerhanalah rembulan dan gelaplah
kehidupan. Kita bikin hiasan-hiasan
budaya, lipstik hukum dan lagu pop
politik, yang tidak mengakar di
tanah kenyataan hidup kita,
sehingga gerhanalah rembulan dan gelaplah kehidupan. Kita biayai
pekerjaan-pekerjaan besar untuk
memboros-boroskan rahmat Allah,
melalui managemen pembangunan
yang tidak menomersatukan
rakyat, sehingga gerhanalah rembulan dan gelaplan kehidupan.
Kita selenggarakan kompetisi
merampok rahmat, kolusi untuk
memonopoli rahmat, pencurian dan
perampokan diam-diam atau
terang-terangan atas rahmat Allah yang sesungguhnya
merupakan hak seluruh rakyat
negeri ini, sehingga gerhanalah
rembulan dan gelaplah kehidupan.
Sekarang kita harus memilih:
apakah akan meneruskan fungsi sebagai bumi penutup cahaya
matahari, ataukah berfungsi
rembulan, yang menyorong dirinya,
bergeser ke titik koordinat alam
semesta sejarah yang tepat,
sehingga kita peroleh kembali cahaya matahari...untuk nanti
sesudah pergantian abad 20 ke 21
kita mulai sebuah Indonesia baru
yang
'bergelimang cahaya matahari'....
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar